MENGEJEWANTAHKAN ROH ITB

MENGEJEWANTAHKAN ROH ITB

 

HS. Dillon

Ketua Majelis Wali Amanat
Pada Wisuda ITB, Maret 2005
Yang saya hormati Para Gurubesar,
Yang saya banggakan para wisudawan
Para orang-tua wisudawan dan hadirin sekalian yang berbahagia,

Selamat pagi.

Adalah merupakan anugerah Sang Khalik bahwa pagi ini kita dapat bersama merayakan suatu capaian dari para wisudawan hari ini. Syukur Alhamdullilah mereka mencatat suatu prestasi besar dalam kehidupan mereka – menyelesaikan studi baik sarjana maupun pasca sarjana dari Institut Teknologi Bandung! Oleh karena itu sudah sepatutnyalah kita memberikan applaus kepada mereka semua. Terima kasih.

Tiga hari yang lalu, saya sudah bicara panjang lebar dengan civitas academica dalam upacara Dies Natalis. Pagi ini, pembicaraan ini khusus saya tujukan kepada para wisudawan.

Wisudawan yang kami banggakan, anda semua telah meraih prestasi besar; apa makna keberhasilan anda ini?  Pertama-tama ini merupakan pertanda bahwa anda kini memiliki khazanah ilmu dan pengetahuan sebagai bekal untuk melanjutkan kehidupan anda.  Kehidupan menuju insan kamil, menjadi anak Bangsa yang sudah siap menunaikan segala kewajiban yang dituntut oleh setiap posisi yang ditempati kelak. Kedua, dan ini yang teramat penting: anda membawa serta nilai-nilai hakiki dari kampus ini. Nilai-nilai kepeloporan, kejuangan dan keberpihakan.

Bagaimana masyarakat akan dapat menandai anda sebagai lulusan ITB? Dari pola pikir, sikap, dan pola tindak anda! Alangkah mulianya manakala semua tindakan anda mencerminkan nilai-nilai tadi. Mengapa mulia? Mari kita coba menelusurinya sejenak, mulai dari keberpihakan.

Anda harus mulai melangkah dengan upaya mengenal dari dekat keadaan Bangsa.  Datangi mereka, ajak bicara, atau  amati mereka dari  kejauhan. Dari mulai Presiden di istana hingga kepada petani dalam gubuknya. Coba pahami angan-angan dan impian yang memotivasinya masing-masing. Pelajari kekuatan maupun kelemahannya. Kenali juga kendala-kendala yang merintangi mereka dalam mengejar cita-citanya.

Cari mereka yang sedang berbakti kepada kemanusiaan, melintasi kepentingan keluarga, kelompok, dan golongan.  Kesemua ini akan membantu  memperteguh tekad anda untuk senantiasa berpihak kepada rakyat, kepada Bangsa yang hingga kini masih terus memperjuangkan kemerdekaaannya.

Apa yang dimaknai dengan kepeloporan? Berdasarkan kemampuan berpikir kritis anda harus dapat membaca semua keadan secara jernih. Mampu membedakan yang benar dan yang salah. Berani menyatakan yang benar itu adalah benar, dan yang salah itu memang salah. Bergerak maju berdasarkan keyakinan akan kebenaran, biar apapun tantangannya.  Berani seperti Galileo Galilei dari Padua mewartakan penemuannya kendati bertentangan dengan paradigma, paham, dan kepercayaan yang dominan pada masa itu. Inilah yang dituntut dari anda: kepeloporan yang memencarkan kabut—mencerahkan, yang memerdekakan rakyat dari segala takhyul, kepercayaan yang sudah usang. Kepeloporan yang tidak mengenal had, batasan-batasan yang dibuat orang lain, kepeloporan membawa maju Bangsa menembus segala halangan.

Lalu, apa pula kejuangan itu? Bukankah itu sudah menjadi bahagian dari sejarah?  Saya tahu itu tidak sedang musim. Tidak ditayangkan di TV, tidak dikumandangkan di radio.  Justru karena tidak rela membiarkan anda hanya mengikuti logika kapitalisme kasar yang kian membahana. Karena saya tidak ingin melihat anda sekalian mengamalkan ilmu hanya untuk sekedar mencari nafkah, mempertahankan eksistensi, maka saya tekankan kejuangan demi esensi Bangsa. Bangsa yang merebut kemerdekaan fisik dari penjajah melalui perjuangan dan pengorbanan yang demikian besar. Esensi yang dirumuskan Proklamator Bung Karno, seorang lulusan kampus Ganesha seperti anda, sebagai TRISAKTI. Yaitu berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkeperibadian dalam bidang kebudayaan.

Jelaslah bahwa keadaan kita kini masih jauh dari yang dicita-citakan para pendiri Bangsa.  Tantangan yang menghadang kita amat banyak, tetapi anda adalah orang-orang terpilih. Kompetensi yang berlandaskan ilmu dan pengetahuan anda telah dirasuki Roh Ganesha, yaitu nilai-nilai kepeloporan, kejuangan, dan keberpihakan. Anda pasti bisa! Majulah, maju mengejewantahkan Roh ITB. Membangun Bangsa yang adil dan makmur, berharkat dan bermartabat. Semoga Tuhan memberkati.

MERDEKA!

Pidato Pelantikan Rektor ITB

Yang saya muliakan para Guru Besar
Yang terhormat Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu,
Yang terhormat Para Pejabat Daerah Jawa Barat
Yang terhormat Anggota Majelis Wali Amanah…
Yang terhormat Pimpinan Senat ITB…
Yang terhormat Saudara Rektor ITB…
Yang saya cintai mahasiswa sekalian sebagai “the rising generation”…
Para hadirin sekalian

Selamat pagi.
Hadirin yang berbahagia, sudah sepatutnya kita bersyukur kehadirat Illahi Rabbi, karena hanya berkat ridho-Nya kita semua dapat bersama dalam majelis yang berbahagia pagi hari ini. Kita juga harus bersyukur karena kadar kemitraan sesama warga ITB dan para stakeholders telah memungkinkan pemilihan Rektor baru terselenggara secara baik dan lancar, terbuka dan demokratis.

Hari ini juga merupakan hari bersejarah bagi saya. Adalah suatu kebahagiaan sekaligus kehormatan besar untuk dapat mewakili Majelis Wali Amanah ITB guna menyampaikan pesan seperti ini dihadapan segenap keluarga besar dan para pecinta ITB.

Pidato yang disusun berdasarkan sumbang saran berbagai pihak bertajuk: “MEMBANGUNKAN ROH ITB”. Semoga segala yang disampaikan ini menyentuh sanubari, menggugah imajinasi, mencerahkan akal budi, menggerakkan kita untuk membangun sebuah komunitas akademik yang tangguh. Yang bukan hanya mampu meningkatkan kwalitas ITB itu sendiri, tetapi lebih maju lagi, mampu memberikan essensi yang berkarakter bagi eksistensi Bangsa.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati.

Marilah kita mulai dengan menelusuri pemahaman ITB sebagai Universitas. Universitas atau perguruan tinggi yang terdiri dari atas fakultas-fakultas yang mengajarkan bidang-bidang ilmu tertentu tadi. Tetapi jangan dilupakan bahwa kata universitas berasal atau berhubungan dengan kata universum (alam semesta). Oleh karenanya, universitas bukanlah sekedar balairung ajar-mengajar ilmu pengetahuan untuk menghasilkan sarjana-sarjana bidang tertentu saja, melainkan lebih dari itu, juga untuk belajar lebih mengenali, menghayati dan memahami alam semesta. Oleh karena itu, seyogyanya ITB tidak sekedar menghasilkan “insinyur tukang”, melainkan juga melahirkan pemikir yang mengenali dan mengerti keterkaitan disiplin ilmunya dengan realitas kehidupan alam sosial, budaya, ekonomi, ekologi, politik, dll, – yang melingkari kehidupan masyarakatnya. Sebagaimana telah dibuktikan oleh kepeloporan dan kejuangan alumni ITB yang telah mewakafkan dirinya untuk Bangsa, seperti Bung Karno, Djuanda, Sutami, maupun yang lainnya.

Kita ketahui sebagaimana universitas lainnya di negeri ini, ITB memiliki apa yang sering kita sebut sebagai Tri Darma Perguruan Tinggi: Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Memang, kata kunci di sini adalah pengabdian. Akan tetapi bentuk dan dampak pengabdian itu sendiri tergantung pada mutu serta rupa pendidikan dan penelitian seperti apa yang diberikan. Di sinilah relevansi kita berbicara tentang Roh ITB, jiwa ITB, semangat ITB, atau identitas khas ITB. Seorang filsuf besar, Betrand Russel, pernah mengemukakan bahwa: “ada dua dampak ilmu pengetahuan yang saling bertentangan terhadap pandangan kita tentang umat manusia dalam alam semesta, yang satu merendahkan manusia – sedang yang lain memuliakannya”. Oleh karena itu, segenap proses dan tujuan pendidikan, penelitian, dan pengabdian ITB harus bermuara pada pemuliaan manusia, pemuliaan bangsa dan Ibu Pertiwi. Tetapi untuk dapat mencapai tahap itu, kita harus memiliki semangat dan keberanian Galileo dalam menyuarakan kebenaran, betapapun besarnya tantangan.

Saudara-saudara sekalian.

Berhubungan dengan hal tadi, Bung Karno, sebagai seorang insinyur alumnus THS/ITB, seorang pejuang kemerdekaan, dan seorang proklamator, pernah menyampaikan pidatonya dikampus ini yang berjudul: “Ilmu Teknik Harus Mengabdi Masyarakat Adil dan Makmur” tatkala beliau dianugerahkan Doctor Honoris Causa di bidang Ilmu Teknik oleh ITB pada tanggal 13 September 1962. Dalam pidatonya itu ada beberapa point penting yang masih sangat relevan bagi Bangsa sekarang ini.

Pertama, Tujuan kita yang tertentu sebagai bangsa, dus juga sebagai manusia Indonesia adalah membuat hidup kita lebih nyaman daripada sekarang ini dengan cara mengadakan satu masyarakat adil dan makmur di tanah air Indonesia, satu masyarakat tanpa exploitation de l’homme par l’homme; Kedua, mungkin tujuan di negeri lain meskipun an sich maksudnya membuat hidup lebih nyaman, tetapi dalam kontes-kontes yang lebih besar tidak untuk membuat yang adil dan makmur, malahan teknik di beberapa negara yang hebat…adalah nyata-nyata teknik yang tidak menuju kepada masyarakat adil dan makmur; dan, Ketiga, Bung Karno menganjurkan agar senantiasa melakukan seek and reseek, think and rethink yang dilandasi oleh dedication of life kita yang tertinggi membuat Indonesia gemah ripah loh jinawi, membuat Indonesia satu tanah air yang besar, membuat Indonesia satu negara yang kuat, membuat masyarakat Indonesia ini satu masyarakat adil dan makmur.

Sesungguhnya apa yang disampaikan Bung Karno itu berlandaskan pada tujuan berdirinya negara Republik Indonesia, yaitu:.. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tetapi prasyarat mencapai tujuan ini adalah Trisakti, yaitu: berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Dalam kaitan itu, ITB sebagai masyarakat ilmiah, yang merupakan bagian integral dari bangsa Indonesia, harus dapat senantiasa mengabdi pada tujuan berdirinya Negara Republik Indonesia tersebut. Untuk itu, sekali lagi, seyogyanyalah segenap proses pendidikan, penelitian dan pengabdian kita bermuara pada terwujudnya tujuan bangsa tersebut, bukan sebaliknya.

Para hadirin yang saya hormati.

Sebagai bangsa bekas jajahan, sampai saat ini masyarakat Indonesia masih memiliki kelembagaan ekstraktif warisan kolonialisme maupun feodalisme. Pada saat yang sama, masyarakat yang masih terbelenggu ini sedang mengalami transisi dari alam otoriter ke alam demokrasi. Di sisi lainnya lagi, Bangsa Indonesia mau tidak mau, suka tidak suka harus masuk ke dalam pusaran arus deras globalisasi sistem ekonomi pasar (neoliberalisme) yang ditandai dengan leluasanya gerak modal negara maju menerjang batas-batas kedaulatan negara berkembang. Maka jelaslah bahwa bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan yang bersifat multidimensional. Di sini timbul kemudian pertanyaan yang menyesakkan dada, apa yang dapat kita sumbangkan untuk mengatasi tantangan bangsa tersebut?

Sudah jamak diketahui bahwa kemajuan suatu bangsa antara lain dilihat dari kemampuan bangsa itu di dalam mengembangkan ilmu dan menguasai teknologi. Namun, dalam hal ini hendaknya kita belajar dari pengalaman masa lalu. Kita mungkin bisa saja bangga mempunyai industri pesawat terbang. Kita mungkin bisa saja bangga memiliki gedung-gedung pencakar langit. Tetapi, apa makna semua itu bagi seratus juta lebih rakyat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan? Pembangunan ekonomi tiga dasawarsa lalu belangsung di tengah-tengah situasi ketidakberdayaan rakyat menguasai sumber-sumber ekonomi nasional. Industrialisasi dengan pilihan politik teknologi padat modalnya berjalan leluasa di tengah-tengah kelemahan kelembagaan sosial rakyatnya. Fakta membuktikan bahwa pilihan teknologi yang menjadi sandaran pembangunan ekonomi selama masa itu gagal karena tidak berlandaskan pada realitas komposisi dan kualitas sumberdaya Nusantara!

Posisi mayoritas rakyat-nya tetap berada dalam cengkeraman belenggu ketidakadilan struktural. Terbukti bahwa selama lebih tiga dasawarsa berkuasa, rezim Orde Baru tidak mampu mengubah kehidupan sebagian besar rakyatnya secara berarti. Sekitar 80% rakyat kita masih tertinggal di pedesaan/pertanian, dengan tingkat produktifitas yang sangat rendah. Hal ini merupakan sebab sekaligus akibat hingga sekitar 85% rakyat kita hanya mampu menjangkau pendidikan sampai tingkat SD. Belum lagi jika pemandangan ini digandengkan pula dengan berbagai kontras dan disparitas yang terus menganga dalam hal distribusi pendapatan baik intra maupun antar golongan masyarakat, seeprti antara laki-laki dan perempuan, antara industri dan pertanian, antara desa dan kota, maupun antara pusat dan daerah.

Hadirin yang saya muliakan,

Para pemimpin seakan tidak mau memahami penderitaaan rakyat. Tsunami 1997 yang menggulung Bangsa ternyata tidak mampu menjadi ” catastrophic learning experience” bagi para elit. Melihat kesenjangan yang tetap menganga antara retorika dengan kenyataan, yang ditunjukkan masih banyaknya koruptor yang bergentayangan, memaksa kita menyimpulkan bahwa mayoritas elit pemimpin memang munafik. Mereka senantiasa menempatkan diri, keluarga dan golongan di atas kepentingan rakyat. Perkembangan akhir-akhir ini menimbul kekhawatiran pemerintah dalam mewujudkan perubahan hakiki harkat dan martabat Bangsa.

Oleh karena itu ITB harus mampu tampil memberikan teladan dengan menemukan pilihan teknologi yang senafas dan selaras dengan kebutuhan, kemampuan dan kebudayaan rakyat Indonesia – demi mewujudkan masyarakat adil makmur. Artinya, seperti sering saya kemukakan diberbagai kesempatan, agar kita membangun berdasarkan pada paradigma people driven. Dalam hal menentukan pilihan politik teknologi juga sudah semestinya kita lebih people driven, daripada market driven.

Dalam kaitan ini, seyogyanya kita juga mau mencoba untuk menghayati kritik politis atas teknologi sebagaimana juga telah disinggung di depan tadi. Sebagaimana kita ketahui, dikhawatirkan teknologi juga menimbulkan ancaman-ancaman baru yang dapat menimbulkan resiko teror, kerusakan biosphere, dan penghisapan kekayaan alam suatu bangsa secara tidak bertanggung jawab. Di samping itu, kita juga hendaknya sungguh-sungguh membuka diri pada perkembangan pemikiran di bidang teknologi yang berperikemanusiaan, menghormati keberlanjutan, dan dapat menciptakan lapangan kerja baru yang lebih adil dan manusiawi. Dan, terakhir, oleh karena teknologi bukanlah sesuatu yang bebas nilai, maka perlu dipertimbangkan hadirnya suatu mekanisme kendali sosial atas teknologi, untuk mencegah munculnya teknologi yang merendahkan martabat manusia dan kemanusiaan.

Akhirnya, di penghujung pidato ini, perkenankan saya mengutip Paulo Freire, yang menegaskan bahwa:

“ …… pendidikan yang dituntut oleh situasi kita ialah pendidikan yang membuat manusia berani membicarakan masalah-masalah lingkungannya dan turun tangan dalam lingkungan tersebut, pendidikan yang mampu memperingatkan manusia dari bahaya-bahaya zaman dan memberikan kepercayaan dan kekuatan untuk menghadapi bahaya-bahaya tersebut, bukan pendidikan yang menjadikan akali kita menyerah pada keputusan-keputusan orang lain. Dengan mengajak manusia terus-menerus melakukan penilaian kembali, menganilisis ‘penemuan-penemuan’, menggunakan metode-metode dan proses-proses ilmu pengetahuan, dan melihat diri sendiri dalam hubungan dialektis dengan realitas sosial, pendidikan ini akan menolong manusia untuk meningkatkan sikap kritis terhadap dunia dan dengan demikian mengubahnya”.

Anggota majelis yang berbahagia,

Kesempatan ini ingin saya pergunakan untuk menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada para Guru Besar “gran personae”, yang telah mengantarkan ITB sampai pada posisi sekarang ini. Keberhasilan ini tidak boleh menina-bobokkan kita, sehingga kita lupa untuk senatiasa “…. learn, unlearn, and relearn”

Dalam kaitan ini, para cendekia menilai bahwa karakter tidak dapat dibentuk dalam lingkunagn yang tenang. Hanya dalam menghadapi percobaanlah jiwa dapat diperteguh, visi dijernihkan, ambisi dibangkitkan dan keberhasilan diraih. Oleh karena itu, mari kita gunakan musibah yang beruntun ini sebagai momentumuntuk membentuk karakter yang kokoh melalui kaizen, yaitu membangun dan membina kultur kreativitas dan inovasi yang berkelanjutan. Ditengah-tengah badai krisis nilai yang sedang menerpa bangsa, ITB haru teguh sebagai Bastion of Civility, yang senantiasa mengawal nilai-nilai integeritas dan kualitas dengan setia. Harapan terutama kita tempatkan atas para dosen muda kita yang cemerlang. Dedikasi anda sekalianlah yang akan menentukan kemampuan Ganesha untuk menjelma sebagai Vanegshwar yang merakit pelana-pelana agar seluruh Bangsa dapat menunggang gelombang globalisasi.

Kepada Profesor Djoko Santoso, kita ucapkan Selamat, semoga Rabb memberikan kekuatan untuk melaksanakan amanah sebagai Rektor ITB periode 2005-2010 mengantarkan Institut Teknologi Bandung kepada tataran yang lebih tinggi lagi.

MERDEKA!!!

Independent, poverty-less nation

When we commemorate the 68th anniversary of Indonesian independence, let us be honest in  assessing as to what extent we have accomplished the goals set forth by the founders of this republic.

Indeed, we are blessed with abundant natural resources. Our ancestors expressed this as “gemah ripah loh jinawi tata tentram kerta maharaja” — a just, wealthy and peaceful community. However, when greedy and extractive institutions gained control over the resources of this nation, things turned to disarray. Consequently, the people of the archipelago have lived under the yoke of injustice, poverty, inequality, fragmentation and dependency.

This exploitation gave rise to resistance, as clearly expressed by the Sukarno: “We struggle because of our suffering, we struggle because we want to live a decent life. We struggle not only because of ‘idealism’, we struggle because we want to have adequate food, adequate clothing, adequate land, adequate housing, adequate education and adequate art and culture. In short, we struggle because we want to improve our fate across all walks of life.”

It is thus clear that the growing consciousness regarding the suffering and poverty inflicted by imperialism was what ignited the flames of the national independence movement.

Sukarno affirmed that “Independence is a ‘Golden Bridge’, at the other end of which we shall perfect the lives of our people […] The principle is, no poverty in Independent Indonesia.” In essence, with independence we want to realize a just and prosperous Indonesian community. For this reason, the preamble of the 1945 Constitution clearly states that the purpose of the establishment of the Republic of Indonesia is, among other things, “to promote general welfare and educate the nation”.

Bung Karno had encapsulated the goals of the nation in guidelines he named Trisakti (The Three Powers): “political sovereignty, economic independence and national character”. His revolutionary vision had revealed that those noble goals could not be realized without consistently applying the process of menjebol-membangun (constructive destruction) to abolish extractive institutions in various forms inherited from the colonial and feudal systems.

The most fundamental push to implement this entailed the issuance of Law No. 2/1960 on sharecropping agreements, Law No. 5/1960 on basic regulation on agrarian principles (UUPA) and Law No. 56/1960 on the size of agricultural landholdings.

These breakthroughs attempted to confront the structural injustice of the feudalistic colonial systems head-on, both in terms of production relationships and natural resource control in order to realize social justice for all Indonesians.

Now, we have officially been at the other end of the “Golden Bridge” for 68 years; high time for some soul searching. To borrow from one of Indonesia’s greatest poets, Chairil Anwar, we should ask ourselves, “Have we been faithfully keeping watch on the border between proclamations and dreams? Have we tried to attach meaning to the thousands of bones lying scattered between Karawang and Bekasi?”

Does this mean that we have been deliberately letting our brothers and sisters remain poor, dominated and colonized? No, a host of initiatives and policies have been put in place since the early days of independence. Recently, four clusters of poverty alleviation programs were simultaneously carried out by the government in an attempt to address all facets of poverty: social protection, community empowerment, the empowerment of small- and medium-scale enterprises (SME) and cheap infrastructure programs for the people.

These programs have begun to show some results. In 2007, the number of poor declined to 37.17 million (16.58 percent). Furthermore, the number living in poverty continued to decline to 34.97 million people in 2008, 32.53 million people in 2009 and 31.02 million people (13.33 percent) in 2010.

This means that overall, from 2005 to 2010 about 4 million people managed to escape from poverty. This is a magnificent feat, but one should keep in mind the inordinate amount of funds dedicated to this endeavor.

Had the design and implementation of our poverty alleviation programs been more consistent, we could have garnered much better results, akin to Fome Zero of Brazil. It is also unfortunate that at the implementation level, the coordination among various government institutions both at the central and regional levels proved to be inadequate. As a consequence, complementarity among these programs has been at a minimum. Quite often we encounter cases where beneficiaries did not receive the planned amount.

Thus, despite all our hard work, the number of poor, near-poor and vulnerable remains around 96.4 million — about 40 percent of our population. Furthermore, a significant portion of our young are stunted, denoting chronic malnutrition.

These people are materially poor, but the rest of us, those who are not materially poor yet seemingly oblivious of the dire plight of our fellow countrymen, must certainly be spiritually poor!

These people are poor in mind, poor in solidarity, poor in imagination, poor in innovation and poor in a sense of togetherness. In short, lacking the very Indonesian essence! It is definitely heartbreaking that this 60 percent includes policymakers, policy executors, conglomerates, law enforcers, religious leaders and educated people. Yes, all of us claim to be Indonesians.

“What went wrong?,” President Susilo Bambang Yudhoyono asked in mid-2012. Going back more than half a century ago, the spirit of solidarity, le desir d’etre ensemble (the willingness to become one), disappeared when efforts to abolish extractive institutions by Sukarno through UUPA were blocked by the plantation overlords and feudal landlords. This is a heartrending revelation that the local elites elected to assume the roles of the imperialists rather than restore the rights of the people.

Because we have been in denial about Sukarno’s nation- and character-building ideals, we have yet to be able to truly establish a solid Indonesian character. It comes as no surprise that the nation is fragmented and the colonial dualistic economy has been resurrected — the extractive greedy evils have re-established their stranglehold on institutions and policies in this country. Lamborghinis glide along majestically while beggars forage for scraps in the garbage cans on the roadside.

Confronted by the widest inequality since independence, driven by untrammeled markets, it is time to go back to basics. Let us empower the capacity and ability of the people so that they will be able to take full advantage of the economic opportunities we expressly create for them. We need to direct funds and forces to small farmers, farm laborers and SMEs while also supporting education and training in every corner of the country.

Technological and institutional innovations and incentives created by affirmative fiscal and monetary policies will definitely shatter the colonial-feudal social structure and give rise to a social structure built on solidarity, in which every citizen will be secure that we are truly on the same boat.

Under the prevailing circumstances, the main challenge the republic has to face is how to drive out the “desire to subjugate” from the minds of those in power, in government and in businesses, both in the capital and in the regions.

So please step forward, the true sons and daughters of the nation who want to honor the bones scattered between Kerawang and Bekasi. Provide meaning to all those who sacrificed themselves in securing our independence.

The prevalence of poverty attests that this is yet to become an independent Indonesia.

The writer headed the Coordinating Agency for National Poverty Alleviation in 2001.

http://www.thejakartapost.com/news/2013/08/19/independent-poverty-less-nation.html