Sumpah Pemuda 2012: Amanat Atau Khianat?

Bersatu dalam bertanah-air, berbangsa, dan berbahasa Indonesia, itulah tekad bersama para pemuda yang dinyatakan kepada umum setelah merampung Kongres Pemuda II  pada tanggal 28 Oktober 1928. Peristiwa ini merupakan kelanjutan/peningkatan dari ‘kebangkitan’ kesadaran bahwa pendidikan merupakan senjata ampuh untuk melawan penjajahan, yang disebar-luaskan oleh para cendekia seperti Dr. Wahidin dan Dr. Tjipto dua dasawarsa sebelumnya. Semua peserta kongres terpelajar, sehingga cukup cerdas memahami bahwa selain pendidikan dibutuhkan per’satu’an untuk melawan penjajahan secara efektif.   Oleh karena itu mereka berani melintasi segala sekat primordial, baik asal-usul kedaerahan, maupun agama dunia yang sedang dianut.

Persatuan Indonesia yang diformulasikan para pemuda-pemudi ini tumbuh-subur berkembang menjadi moral imagination (visi moral) sebuah Bangsa Indonesia Merdeka. Perjuangan yang semakin bersatu ini didorong para tokoh pemuda terpelajar dengan visi jauh kedepan serta kemampuan mengartikulasikannya dengan cemerlang sehingga mampu berperan sebagai solidarity-makers rakyat yang beragam. Roh persatuan/persamaan inilah yang kemudian ditangkap dengan baik oleh Preambule UUD 45 dan butir-butir landasan filosofis kita, Pancasila.

Guna mewujudkan pernyataan kemerdekaan 17845, para pemuda menempatkan diri digarda terdepan barisan rakyat untuk melakukan perlawanan fisik menggusur penjajah yang berupaya berkuasa kembali membonceng kekuatan pasukan Sekutu.  Merdeka atau Mati! Pernyataan inilah yang membakar semangat para pemuda, sehingga segala kepentingan kelompok dapat dikesampingkan. Bukan hanya tulang-tulang yang berserakan antara Krawang-Bekasi, tetapi ratusan-ribu nisan yang terpancak di TMP diseluruh Tanah-Air, turut menjadi saksi bisu roh persatuan/persamaan yang melandasi pengorbanan jiwa-raga para pemuda untuk mematahkan belenggu penjajahan Belanda.

Pengorbanan maha-dahsyat sebagai manifestasi semangat bambu-runcing ini meneguhkan ‘moral imagination’ bangsa yang menolak segala bentuk penjajahan, dilambangkan oleh Proklamator sebagai TRISAKTI. Selain ‘Berdaulat dalam bidang politik, dan berdikari dalam bidang ekonomi’, bangsa kita diamanatkan untuk ‘Berkepribadian dalam bidang kebudayaan’.

Peringatan sebuah peristiwa, apalagi yang menjadi tonggak sejarah, selain meghargai jasa para pelakunya, juga dimaksudkan untuk memaknai kembali ‘roh’ yang menjiwai kejadian tersebut.  Maka, sudah sepantasnya dicoba telaah apakah kita ‘amanat atau khianat’  dalam memelihara tekad persatuan/persamaan selama lebih delapan dasawarsa.

BerTumpah Darah satu? Kendati pembangunan nasional direncanakan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial rakyat diseluruh Tanah-Air, dalam pelaksanaannya ternyata ketimpangan warisan kolonial belum berhasil juga dikoreksi. Ekonomi pasar yang didorong oleh mazhab neo-lib semakin memperlebar kesenjangan antar pusat dan daerah, sehingga rakyat didaerah tidak menikmati nilai-tambah komoditas yang dihasilkannya.

Bagaimana kita menyikapi berita tentang warga diperbatasan – beranda terdepan yang dalam praktiknya lebih diperlakukan sebagai ‘hinterland’ – mengejar pendidikan yang lebih bermutu bagi para puteranya diseberang lintas negara? Yang merasa bahwa orang asing lebih peduli daripada saudara se Tanah-Airnya sendiri?

Berbangsa satu?  Apakah pelaksaan otonomi daerah dan kebebasan bersuara memperteguh perasaan sebagai Bangsa Indonesia yang bersatu dalam keragaman, atau kita justeru semakin terfragmentasi, menyerupai masyarakat tribal (kesukuan) zaman kolonial? Kalau dahulu, melalui politik divide et impera, penjajah sengaja mempertebal sekat untuk mempermudah ekstraksi segala sumber daya alam kita, kekuatan global mana yang kini sedang gigih berupaya memecah-belah kita?

Perlu penelusuran yang cermat untuk menemu-kenali faktor penyebab fragmentasi.  Apakah ini merupakan reaksi normal atas pemusatan kekuasaan di Jawa, serta dominasi pentas nasional oleh suku terbesar, selama puluhan tahun?  Sekedar hasrat untuk merebut giliran ber’kuasa’?  Atau sudah semakin sesat menjadi masalah ‘identifikasi’?

Menjunjung bahasa persatuan?  Perkembangan ekonomi-politik yang seakan tidak terkendali terus melebar kesenjangan pendapatan antar-kelompok. Bagaimana cara kita menyikapi kondisi dimana sementara rakyat masih berbahasa berjuang sekedar mencukupi makan tiga kali sehari bagi anak-anaknya, sedangkan kelompok lain sudah membahasakan persiapan liburan ski di St. Moritz, Swiss, menjelang penghujung tahun?  Bagaimana kita menjelaskan kepada seorang ibu, bahwa kita tidak bisa membelikan susu untuk bayinya, tatkala saudaranya di Jakarta sedang melunasi Lamborghini senilai ratusan ribu kaleng susu bayi? Bahasa apa yang dapat dipakai untuk memper’satu’kan kenyataan Indonesia kedua saudara yang dipisahkan oleh kesenjangan pendapatan ini?

Bagaimana Indonesia yang dididamkan para pemuda pejuang 1928 dapat  dihidupkan kembali dalam roh sanubari kita, sementara korupsi, kemiskinan, kesenjangan, dan kekerasan, gencarnya memecah-belah Bangsa? Bagaimana kita menghindari menjadi penerus yang ‘khianat’? Memang merupakan tanggung-jawab semua kita, tetapi barangkali harapan dapat ditempatkan kepada tiga golongan utama, yaitu tokoh Agama, tokoh Kampus, dan tokoh Pemuda.

Pengaruh pemahaman dan pengajaran agama mempunyai dampak yang sangat besar atas perjalanan Indonesia, sehingga alangkah baiknya manakala tokoh agama bertekad memenuhi himbauan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai agar mereka juga menyebarkan paham beragama benar dan moderat, menandingi ajaran radikal, termasuk merakit bom, yang disebarkan kekuatan asing melalui internet. Dalam kaitan ini sepantasnyalah kita menggaris-bawahi ajakan Dekan IAILM Tasikmalaya Asep Salahudin yang sebenarnya dialamatkan kepada para haji mabrur agar ” … menjadi kekuatan gerakan moral untuk melakukan ‘budaya tanding’ terhadap segala praktik keagamaan, kemasyarakatan, dan kebangsaan, yang menyimpang”.

Kampus mempunyai peran sentral sebagai pusat budaya, sudah saatnya para dosen tampil menjadi contoh kepemimpinan Indonesia, untuk membentengi para kalangan pemuda di kampus yang kosong nilai dari infiltrasi ideologi radikal asing. Sepatutnya kampus lain mengikuti jejak Rektor ITB Ahmaloka menjabarkan kebijakan afirmatif Menteri Pendidikan M. Nuh: di Kampus Ganesha diselenggarakan masa matrikulasi khusus agar adik Papua dapat menyetarakan diri dengan saudara-saudara sebangsanya, dimentori oleh dua orang kakak-kelasnya dalam menghadapi baik kepentingan akademis maupun kehidupan sosial.

Apa pula peran yang menjadi amanah para tokoh pemuda kini? Mereka perlu membuktikan bahwa mereka bukanlah pemuda dari ‘generasi menyusui’ yang dikonstantir Buya Syafii Maarif. Mereka harus menjauhkan diri dari hedonisme dan kesesatan peradaban yang sedang dipamerkan oleh rekan-sejawat maupun senior mereka yang telah khianat dalam baik partai politik maupun birokrasi. Mereka harus maju menjadi pemimpin ‘amanat’ yang dinanti rakyat di tikungan sejarah kini. Pemimpin, sebagaimana dilukiskan sosiolog Tamrin Amal Tomagola: ” … yang betul-betul memberikan seluruh potensi serta gairah kepemimpinannya menakhodai Indonesia keluar dari kemelut dan keterpurukan martabat dalam pergaulan dunia.”

Mendaya-gunakan teknologi ICT sesuai perkembangan zaman, tokoh pemuda harus menjadi tauladan berkepribadian Indonesia  yang, mengikuti editoral harian KOMPAS Kamis, 25 Oktober 2012: “… mampu mengaktualisasi dan memperkaya sikap dan aksi sosial yang sudah terbukti saat terjadi becana, sehingga terbangun menyatu, dalam keseharian kita sebagai keharusan bersama.”

Memang menggelorakan persatuan/persamaan Indonesia sesuai amanat Sumpah Pemuda masih harus melalui suatu proses pencaharian suatu kehidupan dimana laki-laki dan perempuan bebas dari kecemasan material sehari-harian dan kecemasan keselamatan diri dalam hidup kebersamaan.

Akan dapatkah kita capai kehidupan itu? Mengapa tidak?